Kamis, 19 November 2015

Tulisan 20 - OJK Siapkan Kebijakan Keuangan Syariah



Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan paket kebijakan untuk mendorong pertumbuhan industri jasa keuangan syariah.
Setelah kondisi kurang mendukung dua tahun belakangan ini, OJK berharap industri bisa kembali maju tahun depan.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad mengungkapkan, OJK akan mengeluarkan paket kebijakan keuangan syariah untuk mendorong pertumbuhan sektor ini. Dari 14 kebijakan, tujuh di antaranya terkait perbankan, enam terkait pasar modal syariah dan satu roadmadp industri keuangan non-bank syariah.
Pengaturan produk dan aktivitas, termasuk soal bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) akan masuk dalam paket kebijakan perbankan.
Sebagai alternatif pendanaan selain perbankan, akan ada penyederhanaan peraturan terkait efek, sukuk, emiten, reksadana Syariah dan EBA syariah sehingga beragam proyek bisa mendapat dana alternatif dari pasar modal. Juga akan ada aturan tersendiri mengenai profesi pasar modal syariah.
”Ini akan dikeluarkan bersamaan, insya Allah bulan depan untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi industri keuangan syariah,” kata Muliaman di Jakarta belum lama ini.
OJK juga sudah memperluas pembiayaan multifinance sehingga bisa membiayai sektor lain yang produktif seperti ekonomi kreatif dengan adanya konsorsium perusahaan pembiayaan, termasuk perusahahaan pembiayaan syariah. Ia berharap mobilisasi yang sama juga akan bisa dijalankan untuk proyek lain.
Pembiayaan mikro juga penting dan keuangan syariah lebih untuk ini. Harapannya, aneka kartu untuk penyaluran bantuan pemerintah dan dana desa bisa menggunakan jasa keuangan syariah.
500 ribu agen asuransi asuransi saat ini pun dinilai kurang. Denan potensi yang ada ini, OJK menargetkan bisa ada 10 juta agen yang diharapkan tak hanya menjual asuransi konvensional, tapi juga syariah.
Tapi keuangan syariah tidak selalu berasosiasi dengan yang kecil, tapi juga kelas menengah dengan menyediakan produk sesuai kebutuhan termasuk wisata halal. Proyek besar pun perlu coba didekati sehingga keuangan syariah punya peran dari yang besar sampai mikro.
”Ini dua sisi mata uang, keuangan syar iahjuga harus saling dukung dengan sektor riil,” tambah Muliaman.
Muliaman berharap semoga gangguan sementara dalam dua tahun belakangan bisa hilang dan industri bisa maju lagi pada 2016. Sebab tekanan terhadap ekonomi nasional mau tak mau memengaruhi industri keuangan syariah terutama bank syariah.
Padahal, Indonesia disebut punya potensi besar menjadi pusat keuangan Islam. Dalam Islamic Finance Index, Indonesia masuk 10 besar negara yang dianggap mendukung untuk perkembangan jasa keuangan syariah.
”Kita sadar, tapi apakah sudah usaha sebesar-besarnya sesuai kapasitas? OJK punya komitmen kuat untuk bisa mewujudkan itu,” ungkap Muliaman.
Potensi besar hanya potensi jika tidak berbenah. Belajar dari kondisi yang ada dua tahun ini. Krisis bisa datang pergi dengan rentang yang makin dekat. Potensi pasar dalam negeri besar, maka kesiapan tidak cuma perlu dibangun industri tapi juga pemerintah.


http://ekonomisyariah.info/blog/2015/11/09/ojk-siapkan-paket-kebijakan-keuangan-syariah/

Tulisan 19 - Kejahatan Perbankan



JAKARTA, KOMPAS.com — Strategic Indonesia mencatat, dalam kuartal I 2011 telah terjadi sembilan kasus pembobolan bank di berbagai industri perbankan.
Jos Luhukay, pengamat Perbankan Strategic Indonesia, mengatakan, modus kejahatan perbankan bukan hanya soal penipuan (fraud), tetapi lemahnya pengawasan internal control bank terhadap sumber daya manusia juga menjadi titik celah kejahatan perbankan. “Internal control menjadi masalah utama perbankan. Bank Indonesia harus mengatur standard operating procedure (SOP),” kata Jos Luhukay, Senin (2/5/2011).
Berikut adalah sembilan kasus perbankan pada kuartal pertama yang dihimpun oleh Strategic Indonesia melalui Badan Reserse Kriminal Mabes Polri:

1. Pembobolan Kantor Kas Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tamini Square. Melibatkan supervisor kantor kas tersebut dibantu empat tersangka dari luar bank. Modusnya, membuka rekening atas nama tersangka di luar bank. Uang ditransfer ke rekening tersebut sebesar 6 juta dollar AS. Kemudian uang ditukar dengan dollar hitam (dollar AS palsu berwarna hitam) menjadi 60 juta dollar AS.

2. Pemberian kredit dengan dokumen dan jaminan fiktif pada Bank Internasional Indonesia (BII) pada 31 Januari 2011. Melibatkan account officer BII Cabang Pangeran Jayakarta. Total kerugian Rp 3,6 miliar.

3. Pencairan deposito dan melarikan pembobolan tabungan nasabah Bank Mandiri. Melibatkan lima tersangka, salah satunya customer service bank tersebut. Modusnya memalsukan tanda tangan di slip penarikan, kemudian ditransfer ke rekening tersangka. Kasus yang dilaporkan 1 Februari 2011, dengan nilai kerugian Rp 18 miliar.

4. Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Margonda Depok. Tersangka seorang wakil pimpinan BNI cabang tersebut. Modusnya, tersangka mengirim berita teleks palsu berisi perintah memindahkan slip surat keputusan kredit dengan membuka rekening peminjaman modal kerja.

5. Pencairan deposito Rp 6 miliar milik nasabah oleh pengurus BPR tanpa sepengetahuan pemiliknya di BPR Pundi Artha Sejahtera, Bekasi, Jawa Barat. Pada saat jatuh tempo deposito itu tidak ada dana. Kasus ini melibatkan Direktur Utama BPR, dua komisaris, komisaris utama, dan seorang pelaku dari luar bank.

6. Pada 9 Maret terjadi pada Bank Danamon. Modusnya head teller Bank Danamon Cabang Menara Bank Danamon menarik uang kas nasabah berulang-ulang sebesar Rp 1,9 miliar dan 110.000 dollar AS.

7. Penggelapan dana nasabah yang dilakukan Kepala Operasi Panin Bank Cabang Metro Sunter dengan mengalirkan dana ke rekening pribadi. Kerugian bank Rp 2,5 miliar.

8. Pembobolan uang nasabah prioritas Citibank Landmark senilai Rp 16,63 miliar yang dilakukan senior relationship manager (RM) bank tersebut. Inong Malinda Dee, selaku RM, menarik dana nasabah tanpa sepengetahuan pemilik melalui slip penarikan kosong yang sudah ditandatangani nasabah.

9. Konspirasi kecurangan investasi/deposito senilai Rp 111 miliar untuk kepentingan pribadi Kepala Cabang Bank Mega Jababeka dan Direktur Keuangan PT Elnusa Tbk.


http://forumnasabah.com/inilah-9-kasus-kejahatan-perbankan/

Tulisan 18 - Toshiba Accounting Scandal



Toshiba telah berkiprah dalam industry teknologi di seluruh dunia sejak tahun 1875, itu artinya selama 140 tahun Toshiba telah mampu mencuri hati masyarkat di seluruh dunia dengan produk yang berkualitas, brand image yang tangguh, dan layanan pelanggan yang excellent. Reputasi yang bagus itu kini hancur berantakan hanya karena pressure yang sangat tinggi untuk memenuhi target performance unit.
Kasus ini bermula atas inisiatif Pemerintahan Perdana Menteri Abe yang  mendorong transparansi yang lebih besar di perusahaan-perusahaan Jepang untuk menarik lebih banyak investasi asing. Atas saran pemerintah tersebut, Toshiba menyewa panel independen yang terdiri dari para akuntan dan pengacara untuk menyelidiki masalah transparansi di Perusahaannya. Betapa mengejutkannya bahwa dalam laporan 300 halaman yang diterbitkan panel independen tersebut mengatakan bahwa tiga direksi telah berperan aktif dalam menggelembungkan laba usaha Toshiba sebesar  ¥151,8 miliar (setara dengan Rp 15,85 triliun) sejak tahun 2008.
Panel yang dipimpin oleh mantan jaksa top di Jepang itu, mengatakan bahwa eksekutif perusahaan telah menekan unit bisnis perusahaan, mulai dari unit personal computer sampai ke unit semikonduktor dan reaktor nuklir untuk mencapai target laba yang tidak realistis. Manajemen biasanya mengeluarkan tantangan target yang besar itu sebelum akhir kuartal/tahun fiskal. Hal ini mendorong kepala unit bisnis untuk menggoreng catatan akuntansinya. Laporan itu juga mengatakan bahwa penyalahgunaan prosedur akuntansi secara terus-menerus dilakukan sebagai kebijakan resmi dari manajemen, dan tidak mungkin bagi siapa pun untuk melawannya, sesuai dengan budaya perusahaan Toshiba.
Akibat laporan ini CEO Toshiba, Hisao Tanaka, mengundurkan diri, disusul keesokan harinya pengunduran diri wakil CEO Toshiba, Norio Sasaki. Selain itu Atsutoshi Nishida, chief executive dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 yang sekarang menjadi penasihat Toshiba juga mengundurkan diri. Panel tersebut mengatakan bahwa Tanaka dan Sasaki tidak mungkin tidak tahu atas praktik penggorengan laporan keuangan ini. Penggorengan ini pasti dilakukan secara sistematis dan disengaja.
Saham Toshiba turun sekitar 20% sejak awal April ketika isu akuntansi ini terungkap. Nilai pasar perusahaan ini hilang sekitar ¥ 1,67 triliun (setara dengan RP174 triliun). Badan Pengawas Pasar Modal Jepang kemungkinan akan memberikan hukuman pada Toshiba atas  penyimpangan akuntansi tersebut dalam waktu dekat ini.

Manajemen Berbasis Kinerja
Target yang terlalu tinggi, dan tekanan atas pencapaian target tersebutlah yang menyebabkan skandal ini terjadi. Dalam akuntansi manajemen, hal ini disebut dengan akuntansi pertanggungjawaban, yaitu bagaimana kepala unit bisnis melaporkan pencapaian kinerjanya atas tanggung jawab yang diberikan manajemen puncak perusahaan kepadanya.
Tidak ada yang salah sebenarnya dalam praktik akuntansi pertanggungjawaban ini, malah dianjurkan untuk menciptakan kinerja yang lebih baik, namun kesalahannya terletak pada tumpuan penilaian kinerja semata-mata hanya pada sisi kinerja keuangan. Meskipun kita mengenal ada empat perspektif kinerja dalam balance score card (keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan pertumbuhan dan pembelajaran), namun dalam kenyataannya tetap perspektif keuangan selalu yang didewakan.
Tidak hanya di Jepang, Amerika atau negara barat lainnya, di Indonesiapun praktik manajemen berbasis kinerja ini sering banyak disalahgunakan. Praktik sederhananya adalah manajemen puncak memberikan target yang luar biasa tinggi kepada unit bisnis dibawahnya, sebenarnya manajemen puncak mengetahui bahwa target itu sangat tidak realistis, namun sengaja ia berikan agar memacu unit bisnis menghasilkan yang lebih banyak lagi melebihi target normal, agar target yang dibebankan kepadanya bisa dicapai. Atau contoh sederhananya begini: dewan komisaris (BOC) memberikan target pertumbuhan 10% kepada dewan direksi (BOD) perusahaan, selanjutnya BOD memberikan target 12% kepada setiap unit bisnis dibawahnya, untuk mengamankan agar pencapaiannya yang 10% itu dapat dengan mudah dipenuhi, selanjutnya kepala unit bisnis memberikan target yang lebih tinggi lagi misal sebesar 15% kepada manajer divisi dibawahnya lagi, demikian seterusnya.
Praktik ini sebenarnya normal terjadi, namun tekanan dan punishment dari atasan agar target tercapai itulah yang membuat unit bisnis mengakali laporannya. Cara gampangnya adalah dengan memberikan laporan yang salah alias laporan ABS (Asal Bapak Senang) seperti pada kasus Toshiba ini.

Cara Baru Pengawasan
Kasus akuntansi Toshiba ini tidak akan mungkin muncul ke permukaan, jika komisaris (Chairman) Toshiba tidak melakukan inistiatif membentuk panel independen ini, artinya jika dengan pengawasan biasa saja (internal audit atau komite audit), hal ini pasti tidak terdeteksi.
Demikian juga peran OJK nya Jepang yang tidak mampu mendeteksi kasus ini, dengan beranekaragam regulasi yang dikeluarkan OJK ternyata masih belum mampu mencegah terjadinya praktik kecurangan akuntansi pada perusahaan terdaftar di bursa, ini juga patut dipertanyakan.
Hal yang sama terjadi juga pada eksternal auditor Toshiba yang juga tidak mampu menemukan kecurangan akuntansi ini. Audit independen saja tidak mampu menemukannya bagaimana dengan internal audit atau OJK?
Perlu dipikirkan cara baru pengawasan untuk mencegah hal ini terulang lagi, mungkin semacam inspeksi dari komisaris perusahaan atau dari regulator (jika perusahaan terbuka). Inpeksi atau pemeriksaan khusus bisa dilakukan kapan saja dengan waktu yang tidak tentu. Pemeriksaan khusus (inpeksi) ini harus dituangkan dalam peraturan resmi (peraturan OJK atau peraturan pemerintah) agar semua perusahaan melakukannya secara bersama, termasuk didalamnya siapa yang menanggung biaya inspeksi ini. Dengan penerapan pengawasan berlapis ini tentunya akan tercipta laporan keuangan yang lebih accountable, good corporate governance, dan tentunya kepercayaan para stake holder (termasuk didalamnya investor) akan semakin tinggi.


http://akuntansiterapan.com/2015/07/22/toshiba-accounting-scandal-runtuhnya-etika-bangsa-jepang-yang-sangat-diagungkan-itu/

Tulisan 17 - BPK Temukan Masalah Penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah

Metrotvnews.com, Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) telah merampungkan hasil pemeriksaan ikhtisar semester II-2014. Dalam pemeriksaan tersebut BPK menemukan sejumlah masalah yang perlu mendapat perhatian pemerintah pusat.

Masalah tersebut adalah, persiapan pemerintah pusat belum sepenuhnya efektif mendukung penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP) berbasis akrual pada 2015.

Kendalanya adalah ketentuan turunan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.05/2013 tentang sistem akutansi Pemerintah Pusat dan Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan berbasis akrual tidak segera ditetapkan.



"Akibatnya muncul ketidakjelasan dalam menerapkan akutansi berbasis akrul pada satuan kerja pengelola Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, ketidakseragaman penyajian keuangan di kementerian/lembaga, dan ketidakhandalan data untuk menyusun laporan keuangan," ujar Ketua BPK, Harry Azhar Azis dalam laporannya di Sidang Paripurna kepada DPR di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/5/2015).

Sekadar diketahui, BPK RI selama semester II-2014 menemukan 3.293 masalah berdampak finansial senilai Rp14,74 triliun yang terdiri atas masalah yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp1,42 triliun.

"Potensi kerugian negara senilai Rp3,77 triliun dan kekurangan penerimaaan senilai Rp9,55 triliun," tambah Harry.

Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) semester II BPK mengungkapkan 7.950 temuan pemeriksaan yang didalamnya terdapat 7.789 masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan-undangan senilai Rp40,55 triliun dan 2.482 masalah kelemahan sistem pengendalian intern (SPI).



http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/04/07/382362/bpk-temukan-masalah-penerapan-sistem-akuntansi-pemerintah

Tulisan 16 - Akuntansi Sektor Publik




RUANG LINGKUP AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA

Di Indonesia sebaiknya kita membatasi diri bahwa Akuntansi Sektor Publik mencakup tiga bidang utama yakni :
a. Akuntansi Pemerintah Pusat;
b. Akuntansi Pemerintah Daerah;
c. Akuntansi Entitas Nir Laba non Pemerintah, yang antara lain terdiri atas Koperasi, Yayasan, Unit Swadana seperti Rumah Sakit, Sekolah.

Pembatasan ini perlu disepakati untuk menghindari tumpang tindih dengan Kompartemen Akuntan Manajemen yang berada di lingkungan Ikatan Akuntan Indonesia. Yang antara lain mencakup Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Walaupun di negara lain BUMN dan BUMD masuk dalam cakupan Entitas Akuntansi Sektor Publik.Atas dasar pembatasan ruang lingkup maka sebenarnya batasnya sangat mudah diketahui yakni Akuntansi Sektor Publik adalah Akuntansi atas Entitas yang nir laba alias Entitas yang tidak bertujuan untuk mencari keuntungan.
AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK YANG TERTINGGAL DARI AKUNTANSI SEKTOR PRIVAT
Akuntansi Sektor Publik di Indonesia jauh sangat ketinggalan bilamana dibandingkan dengan Akuntansi Sektor Privat. Pernyataan ini bukan hanya untuk merendah atau santun tetapi bilamana diakui secara jujur maka ketinggalan itu adalah riil. Pembuktiannya sangatlah mudah yakni :

a. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia belum memiliki infra struktur akuntansi keuangan. Pemerintah telah diberikan kesempatan untuk menyusun infra struktur akuntansi keuangannya dengan memperoleh dana Bantuan Bank Dunia, namun bermiliar dana sudah ditelan namun yang namanya Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah tidak pernah muncul, dan hanya sekadar Pilot Project belaka. Sangat menarik statement Prof.DR. Wahyudi Prakarsa dari Universitas Indonesia yang di dalam seminar di Hotel Indonesia menyatakan bahwa Standar dan Sistem yang disusun oleh Departemen Keuangan sudah "obsollete" sebelum dapat ditrabkan.

b. Standar Audit Pemerintahan ada dua buah, satu buah dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia di pihak lain BPKP sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah juga mengeluarkan Standar Audit. Sampai kapan kita di Indonesia memiliki hanya satu Standar Audit untuk Pemerintahan. Walahualam Bisawab.

c. Di Indonesia tidak ada kejelasan siapa yang dinyatakan sebagai memiliki kewenangan sebagai "Standard Setter". Oleh karena itu masing-masing pihak dapat mengclaim bahwa "dia" lah yang berwenang menyusun standar disertai dengan reasoning yang diutarakan guna memperkuat pernyataannya. Yang jelas Prof.DR.Zaky Baridwan dalam seminarnya di Hotel Ambarukmo Palace Hotel menyatakan bahwa adalah tidak pada tempatnya jika Instansi Pemerintah yang menyusun Standar yang akan digunakan sendiri.

d. Hanya sedikit jumlah akuntan yang menekuni pada entitas yang mengerjakan akuntansi, mereka lebih happy dengan pekerjaan auditor ketimbang pekerjaan akuntansinya sendiri.

AKUNTANSI ATAS HUTANG-HUTANG ATAU KEWAJIBAN PEMERINTAH.

Bilamana negara kita memiliki akuntansi keuangan yang baik maka sudah pasti kita memiliki catatan mengenai jumlah kewajiban atau hutang pemerintah kepada Luar Negeri maupun Dalam Negeri. Berkenaan dengan ketinggalan atau kelemahan akuntansi keuangan pemerintah maka siapakah atau unit mana yang dapat dijadikan sebagai rujukan untuk menghitung "hutang pemerintah" yang konon sangat besar. Jikalau jawabannya ya dan benar bahwa Pemerintah mempunyai akuntansi yang akurat atas hutang atau kewajibannya apakah Eksternal Auditor Pemerintah maupun Internal Auditor Pemerintah pernah memeriksanya.Bilamana benar bahwa akuntansi pemerintah atas kewajiban disembunyikan atau tidak transparan timbul berbagai pertanyaan dari masyarakat berupa :
a. Malukah pemerintah mengetahui hutangnya;
b. Belum siapkah pemerintah memasuki transparansi yang katanya merupakan salah satu unsur good governance.
c. Apakah akuntasi yang baik hanya diperuntukkan pada Pemerintah Daerah dengan mewajibkan menyusun Nota Perhitungan anggaran Daerah; Perhitungan Daerah; Neraca dan Laporan aliran Kas. Sementara hal itu tidak berlaku bagi Pemerintah sendiri.

AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK MEMASUKI ERA DESENTRALISASI

Memasuki otonomi daerah yang pada hakekatnya adalah power sharing dan decentralization maka dapat dikatakan bahwa arus transaksi keuangan dan barang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara BUMN dengan Pemerintah Pusat; antara Pemerintah dengan masyarakat, dan lain sebagainya yang meningkat dari segi kuantitas maupun kualitas. Bilamana transaksi-transaksi tersebut tidak segera diatur maka sudah pasti Laporan Keuangan sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban di bidang keuangan tidak layak dipercaya.Guna mengejar ketertinggalan tersebut maka berbagai langkah di bidang akuntasi layak untuk ditempuh yakni :
a. Disusun Standar Akuntansi Keuangan untuk Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah;
b. Disusun account code untuk Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dimana di dalam account code di review apakah ada rekening yang terdapat hubungan (link) sehingga pada saatnya dapat direkonsiliasi dan layak untuk diaudit;
c. Disusun jenis Buku atau Ledger yang menjadi pusat pencatatan data primer atas semua transaksi keuangan Pemerintah;
d. Disusun Buku Akuntansi Pemerintahan yang memberikan pedoman atas jenis-jenis transaksi dan cara akuntansinya.

Dengan langkah terpadu tersebut maka para petugas akuntansi di sentra-sentra pembukuan dapat mengerjakan akuntansi baik secara manual maupun menggunakan komputer. Cara-cara yang sederhana sebaiknya ditempuh agar supaya tidak ada alasan bahwa :
a. Akuntansi adalah sesuatu yang sulit;
b. Akuntansi harus dikerjakan oleh SDM yang harus dididik dalam jangka waktu panjang.
c. Akuntansi justru malah menyulitkan, pada hal akuntansi hakekatnya sistem informasi


http://20208018.blogspot.co.id/2012/04/permasalahan-akuntansi-sektor-publik-di.html

Tulisan 15 - Laju Inflasi Tembus 0,93 persen



Jakarta, CNN Indonesia -- Seiring dengan momentum perayaan hari raya Lebaran yang jatuh bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi di sepanjang Juli 2015 menyentuh angka 0,93 persen atau lebih tinggi 0,39 persen ketimbang capaian inflasi Juni yang hanya mencapai 0,54 persen.

Kepala BPS Suryamin mengungkapkan, adanya peningkatan laju inflasi di medio Juli dipicu oleh eskalasi harga-harga bahan makanan dan transportasi yang terjadi sebelum maupun sesudah perayaan Lebaran. “Transportasi cukup besar memberikan andil. Pada bulan Juli tahun ini ada sebelum lebaran ada arus mudik dan setelah lebaran ada arus balik," tutur Suryamin saat memberikan konferensi di kantornya, Senin (3/8).

Suryamin mengatakan dengan adanya capaian inflasi di angka 0,93 persen pada Juli kemarin, laju inflasi secara tahun berjalan (year on year) menyentuh angka 7,26 persen. Sementara secara kumulatif, inflasi selama tahun kalender berjalan atau year to date (YtD) dihitung mencapai 1,90 persen.

"Tapi kalau dilihat angkanya sama persis dengan inflasi bulan Juli tahun 2014," kata Suryamin.
Kenaikan Bahan Makan Tertinggi

Mengacu pada data BPS sampai dengan akhir Juli 2015, seluruh indeks kelompok pengeluaran diketahui mengalami kenaikan harga dengan kelompok bahan makanan sebagai kelompok yang mengalami penaikan harga paling tinggi yakni sebesar 2,02 persen. Sedangkan untuk kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan menyusul dengan kenaikan laju inflasi sebesar 1,74 persen, dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau yang mengalami penaikan harga di angka 0,51 persen.

Sementara untuk kelompok kesehatan, penaikannya diketahui mencapai 0,36 persen, sedangkan kelompok perumahan, air, listrik, gas, hingga bahan bakar peningkatannya mencapai 0,13 persen dan sandang sebesar 0,39 persen.

Dengan begitu, laju inflasi komponen inti pada Juli 2015 diketahui telah mencapai 0,34 persen dengan tingkat inflasi komponen inti sepanjang Januari hingga Juli 2015 menyentuh angka 2,34 persen. Jika dibandingkan dengan Juli tahun lalu, tingkat inflasi komponen inti bulan Juli tercatat telah mencapai 4,86 persen.  "Artinya komponen ekonomi secara umum yang bisa mempengaruhi inflasi sudah cukup bagus seperti suku bunga," kata Suryamin.

Lebih lanjut, Suryamin menerangkan, dari 82 kota yang disurvei BPS mencatat terdapat 80 kota yang mengalami inflasi sementara 2 kota lainnya malah mengalami deflasi. "Inflasi tertinggi terjadi di Pangkal Pinang sebesar 3,18 persen dan terendah di Pemantang Siantar 0,06 persen. Sedangkan, deflasi tertinggi terjadi di Merauke 0,65 persen," cetusnya.

Lebih lanjut, Suryamin mengungkapkan dari 26 kota yang diamati di Jawa, seluruhnya memiliki laju inflasi di bawah 1 persen. Sedangkan dari 23 kota yang diamati di Sumatera, 10 kota memiliki tingkat inflasi Juli di bawah 1 persen, dan sisanya di rentang 1 hingga 2 persen. "Artinya apa? Pengendalian harga di Jawa sudah cukup bagus," kata Suryamin. (dim/dim)


http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150803113000-78-69700/juli-2015-laju-inflasi-tembus-093-persen/