Masing-masing pelaku memiliki prioritas fungsi sebagai berikut:
Sistem Ekonomi Free Fight
Liberalism, Etatisme, dan Monopoli.
·
Free fight liberalism,
yakni adanya kebebasan usaha yang tidak terkendali sehingga memungkinkan
terjadinya eksploitasi kaum ekonomi yang lemah, dengan akibat semakin bertambah
luasnya jurang pemisah si kaya dan si miskin.
·
Etatisme, yakni
keikutsertaan pemerintah yang terlalu dominan sehingga mematikan motivasi dan
kreasi dari masyarakat untuk berkembang dan bersaing secara sehat.
·
Monopoli, suatu
bentuk pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu, sehingga tidak
memberikan pilihan lain pada konsumen untuk tidak mengikuti ‘keinginan sang
monopoli’.
Dalam Perekonomian Indonesia tidak
mengizinkan ke 3 hal tersebut.
Meskipun
pada awal perkembangannya perekonomian Indonesia menganut system ekonomi
Pancasila. Ekonomi Demokrasi, dan ‘mungkin campuran’, namun bukan berarti
system perekonomian liberalis dan etatisme tidak pernah terjadi di Indonesia.
Awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1957-an merupakan bukti sejarah adanya
corak liberalis dalam perokonomian Indonesia. Demekian juga dengan system
etatisme, pernah juga mewarnai corak perekonomian ditahun 1960-an sampai dengan
masa orde baru.
Keadaan
ekonomi Indonesia antara tahun 1950 sampai dengan tahun 1965-an sebenarnya
telah diisi dengan beberapa program dan rencana ekonomi pemerintah. Diantara
program-program tersebut adalah:
·
Program Banteng tahun 1950, yang
bertujuan membantu pengusaha pribumi
·
Sumitro Plan tahun 1951
·
Renacana
Lima Tahun Pertama, tahun 1955-1960
·
Rencana Delapan Tahun
Namun
demikian kesemua program dan rencana tersebut tidak memberikan hasil yang
berarti bagi perekonomian Indonesia. Beberapa factor yang menyebabkan kegagalan
adalah:
·
Program-program tersebut disusun
oleh tokoh-tokoh yang relative bukan bidangnya, namun oleh tokoh politik,
dengan demikian keputusan-keputusan yang dibuat cenderung menitikberatkan pada
masalah politik, dan bukannya masalah ekonomi. Hal ini dapat dimengerti
mengingat pada masa-masa ini kepentingan politik tampak lebih dominan, seperti
mengembalikan Negara Indonesia ke Negara kesatuan, usaha mengembalikan Irian
Barat, menumpas pemberontakan di daerah-daerah, dan masalah politik sejenisnya.
·
Akibat lanjut dari keadaan diatas,
dana Negara yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan kegiatan ekonomi,
justru dialokasikan untuk kepentingan politik dan perang.
·
Factor berikutnya adalah, terlalu
pendeknya masa kerja setiap cabinet yang dibentuk (system parlementer saat
itu). Tercatat tidak kurang dari 13 kali cabinet berganti saat itu. Akibatnya
program-program dan rencana ekonomi yang telah disusun masing-masing cabinet
tidak dapat dijalankan dengan tuntas, kalau tidak ingin disebut tidak sempat
berjalan.
Disamping
itu program dan rencana yang disusun kurang memperhatikan potensi dan aspirasi
dari berbagai pihak. Disamping keputusan individu/pribadi, dan partai lebih
dominan dari pada kepentingan pemerintah dan Negara. Adanya kecenderungan
terpengaruh untuk menggunakan system perekonomian yang tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia (liberalis, 1950-1957 dan etatisme, 1958-1965).
Akibat
yang ditimbulkan dari system etatisme yang pernah terjadi di Indonesia pada
periode tersebut dapat dilihat pada bukti-bukti berikut:
·
Semakin rusaknya sarana-sarana
produksi dan komunikasi, yang membawa dampak menurunnya nilai eksport kita.
·
Hutang luar negeri yang justru dipergunakan
untuk proyek Mercu Suar.
·
Deficit anggaran Negara yang makin
besar dan justru ditutup dengan mencetak uang baru, sehingga inflasi yang
tinggi tidak dapat dicegah kembali.
·
Keadaan tersebuat masih dipeparah
dengan laju pertumbuhan penduduk (2,8%) yang lebih besar dari laju pertumbuhan
ekonomi saat itu, yakni sebesar 2,2%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar